Hari itu menjadi hari yang berbeda dan mungkin
spesial buat seorang suami yang sudah sekian lama tidak bertemu dengan
istrinya. Terdengar kabar bahwa instrinya telah menunggunya dirumah setibanya ia
dari Arab Saudi. Gerimis mulai reda, rumah sang buruh tani itu mulai ramai
dengan riuh tetangga yang berdatangan. Riuh bahagia menyambut tetangganya yang
telah sekian lama pergi merantau di negeri orang. Si kecil heran dan ketakutan,
siapa gerangan wanita itu yang datang kerumahnya. Dengan dandanan yang bagus
dan wangi. Si kecil bersembunyi dibalik neneknya. Wanita itu menghampirinya
menanyakan kabar si kecil, memeluk dan menciuminya. Seketika sikecil meronta,
menangis dan ketakutan. “Siapa wanita itu berani mencium dan memeluku erat? “,
kata si kecil dalam hati.
Hari kian larut, suasana kian sayup. Senja
pedesaan kian redup bergantikan hening dan pekatnya malam kala itu yang
masih langka listrik. Waktu berlalu dan malam berganti. Si kecil mulai paham
bahwa wanita yang semalam memeluk dan menciumnya itu ialah ibunya. Wanita yang
telah melahirkannya, wanita yang berjuang keras demi dia dan kakak
perempuannya. Hari ini berbeda, ia menikmati keluarganya yang utuh bapak, ibu
dan kakak. Suasana yang amat menyenangkan baginya. Tawa riang sering muncul
dari mulut mungilnya. Indah dan pasti akan sangat mudah bagi siapa saja yang
mengalaminya akan tetap merindukannya kelak. Sayang kebahagiaan itu hanya
sesaat, sang ibu pasti akan segera kembali ke perantauannya.
Hari berganti minggu, minggu berganti dan
seterusnya. Tiba saatnya si kecil berpisah kembali dengan wanita yang nampak
asing dulu baginya. Hari perpisahan telah datang, nampak wajah murung di
wajahnya. Terlukis jelas bahwa ia tidak rela, suasana keluarga, harum tubuh ibu
dan kasih sayangnya yang akan amat sangat ia rindukan. Suasana haru pekat
menyelemuti kedua orang tersebut. Telah tiba waktunya untuk berpisah kembali.
Wanita itu memutuskan untuk kembali merantau, keadaan ekonomi kian sulit. Sang
suami tidak dapat mencukupi kebutuhan mereka sekeluarga.
Beberapa tahun berlalu. Si kecil telah
berumur 4 tahun, dan hari ini adalah hari pertama ia masuk sekolah. Bahagianya
melebihi hari lebaran, baju baru, sepatu baru, tas baru, dan bahkan ia akan
menemukan teman-teman baru, cukup untuk menghapus bayang rindunya akan wanita
yang ia takuti beberapa tahun lalu. Belum lama ia tiba di sekolah dangan wajah
polos ia berkata pada kakaknya “mbak ayo mulih?” (kak ayo pulang). Yah itulah
hari pertamanya ia sekolah, maklum saja ia adalah murid termuda. Murid titipan
karena saat itu belum ada TK negeri atau TK Islam, hanya ada TK Seruni (TK
untuk Kristen). Si kecil harus belajar 1 tahun lebih lama dari temannya dan
tanpa raport hasil studynya. Tidak ada apapun kecuali masuk dan belajar,
karena statusnya ialah murid titipan meski sama-sama belajar dengan teman2nya.
Singkat cerita perekonomian keluarga si kecil
kian memburuk, banyak terjadi cekcok dalam keluarganya. Pertengkaran antara
anggota keluarga besarnya hampir mudah ditemui di kesehariannya. Saat itu adik
dari ayahnya marah besar karena makanan yang tersedia didapur tidak memuaskannya.
Tak sengaja ia lewat didepannya dan krumpyang… piring jatuh,namun lebih dulu
telah mengenai pelipis keningnya. Menjadi luka yang tidak akan hilang hingga si
kecil dewasa nanti. Darah mengucur, panik dan kawatir menjadi satu. Keluarganya
ialah keluarga yang serba kekurangan, bahkan untuk mengobati lukanya tidak
perlu dokter. Cukup kain bersih dan obat luka saja.“Ibu, hanya engkau saat ini yang aku butuhkan.
Sayangmu yang akan mampu mengobati rasa perih luka ini”, khayalnya dalam hati.
Waktu berjalan cepat, kelas satu sudah terlewat, tahap demi tahap jenjang SD
terlampaui. Tiba di kelas 3 SD menjadi jenjang terberat bagi si keci, salah
satunya ia harus melihat orang tuanya bercerai, orang tuanya telah memutuskan
untuk berpisah. Hari hari terlihat berat tanpa ibunya, nakal mungkin menjadi
hal wajar untuk mencari perhatian dari orang yang lebih tua di keluarganya.
Pukulan demi pukulan menjadi hal yang biasa ia terima dari ayahnya, hadiah dari
tiap kenakalannya. Keluarga kecilnya tidak lah harmonis, tidak juga dengan
anggota keluarga besarnya.
Banyak hal yang akan berubah setelah berpisahnya
orang tua mereka, ibu tiri yang seremnya mirip di sinetron–sinetron sampai
neraka yang pindah ke bumi yang tiba-tiba hadir di keluarganya. Kehidupannya
jauh untuk dikatakan sempurna, juga tidak bisa dikatakan bahagia. Ibu tiri yang
membencinya menjadi santapan tiap kesehariannya. Lagi-lagi ibu, yang ia rindu.
“Ingin rasanya dapat bertemu bercengkerama dalam peluknya” khayalnya lagi.
Setahun yang lalu ayahnya memutuskan untuk menikah lagi. Andaikan si kecil
telah pandai berbicara mungkin ia tidak akan mengijinkan ayahnya menikah dengan
wanita itu. Bukan hal mudah karena perhatian ayahnya hilang, bahkan ibunya
tidak kunjung pulang untuk sekedar menengoknya, melepaskan rindunya.
Keluarga ialah tonggak dari pendidikan seorang
anak, benar saja karena sebagian waktu sang anak ialah di lingkungan keluarga.
Baik buruknya lingkungan keluarga akan mempengaruhi setiap pendidikan
sosialnya. Waktu berlalu, tepat di kelas 4. Ibunya memutuskan untuk kembali ke
daerah asalnya Indonesia. Rasa bahagia sudah jelas terpancar diwajah manis si
kecil. Namun, sayang kebahagian kecil itu terganggu oleh operasi amandel yang
telah ia derita sejak ia kecil. Penyakit itulah yang sering buatnya
sakit-sakitan dulu. Neneknyalah yang merawatnya sejak kecil. Si kecil memang
lebih senang tinggal bersama neneknya ketimbang keluarganya. Keadaan seperti inilah
yang membuat si kecil menjadi anak yang pendiam jarang bergaul dengan teman
seumurannya.
Tahun demi tahun berlalu kini ia harus lebih
membiasakan diri mendewasa tanpa kasih sayang keluarga selayaknya anak-anak lain
seumuranya. Kini ia sudah bukan murid SD lagi, ia memasuki lingkungan SMP
dengan suasana dan teman baru yang berasal dari daerah yang berbeda-beda
tentunya. Ia termasuk siswa yang pandai meski pandainya hanya 1 semester, si
kecil pernah mendapat rangkin 2 dikelas. Namun sanyangnya itu hanya sekali dan
disemester-semester berikutnya nol, alias tidak dapat peringkat sama sekali. Ia
masih ingat betul dulu saat ia masih memakai seragam putih merah ibunya pulang
dua kali yaitu kelas 2 dan 4. Kini SMP ia hanya bertemu sekali yaitu kelas 1.
Kini menjadi hal yang biasa dan tidak istimewa lagi ketika ibunya pulang dari
tanah rantau karena ia pasti pergi tidak lama lagi.
Kesusahan tidak kunjung pudar dari kehidupannya.
Serasa satu hilang, datang satu lagi kesusahan yang lain. Waktu menunjukkan
pukul 12, seseorang yang tidak asing dari kampungnya datang menghampirinya.
Mengajaknya pulang, tidak banyak fikir ia menurut saja. Ia sudah bisa menebak
pasti ada sesuatu dengan neneknya, neneknya telah dirawat di ICU beberapa hari
karena stroke. Diam mematung, dan tidak lama tersadarkan oleh ajakan penjemput
itu untuk begegas mengemasi peralatan sekolahnya. “ayo bali, cepet beresi
tasmu” saut penjemput itu. Akhirnya mereka bergegas pulang dan telah mendapati
banyak orang dirumahnya. Sontak saja si kecil berlari kedalam rumahnya dan
mendapati neneknya telah kaku diatas sebuah meja panjang dengan mengenakan kain
putih. Tangis tidak lagi bisa dibendung, menambah haru diruangan sempit
itu.
Kini ia harus kehilangan neneknya, seorang yang mau
mengasuhnya sejak kecil dulu. Rasa kehilangan yang begitu dalam. Masih ingat
betul ketika sang nenek menatapnya ketika makan yang sesekali nyletuk
“ndelokke koe mangan kok le ndemenakke” (melihat kamu makan kok begitu
menyenangkan) ya, ia pasti akan sangat merindukannya. Banyak pertanyaan muncul
di benaknya, siapa yang akan menyelimutinya disaat kedinginan tengah malam?
Siapa yang akan buatkan ia sarapan? Siapa yang akan merawatnya jika sakit
kelak? Hela nafas panjangnya menandakan kekecewaan mendalam, bahwa esok
ia tidak akan mungkin merasakan kasih sayangnya lagi. Nek, semoga engkau
bahagia disana, cucumu disini merindukanmu, bisiknya. Riuh suara pelayat
memudarkan lamunannya, tanda bahwa kain putih itu akan segera dikebumikan.
Kini hari-hari kedepan harus dilalui meski tanpa
nenek dan ibunya. Kini ia terpaksa tinggal bersama bapak dan nenek sihirnya.
Wanita dengan segala kepandainnya menyembuyikan kebenciannya terhadap anak
tirinya. Sang kakak lebih memlih tinggal bersama kakeknya (bapak dari ibu). Kini
si kecil harus pandai mengurus diri sampai urusan per-laundryan. Semakin lama mulai nampaklah kebosanan dengan keadaan
keluarganya, bolos sekolah untuk pergi mancing, hingga tidak pulang rumah
dengan numpang tidur dirumah teman menjadi hal lumrah. Hal itu kerap ia lakukan
jika benar benar jenuh dengan lingkungan keluarganya. Hingga suatu waktu sang
kakak mendengan kabar bahwa ia jarang pulang, maklum kakaknya wadulan. Suka
mengadu jika nampak sedikit kejanggalan dari si kecil. Sayangnya itu tidak
buatnya kapok. Si kecil kian menjadi. “Aku juga butuh perhatian”, dalam hati
ia berbisik.
Kenakalan demi kenakalan silih berganti tiap
harinya. Kini ia telah dewasa, seragam putih biru telah berganti dengan putih
abu abu. SMA menjadi masa-masa kebebasan, bayangkan saja raport hasil belajar
tidak pernah ada anggota keluarga yang mau mengambilkannya. Ia hanya sering
nitip tetangga untuk mengambilkannya jika raport dibagikan oleh guru. Bapaknya
pun tak pernah tau kapan ia ujian akhir semester atau waktu pegambilan
raportnya.
Masa SMA bukanlah waktu yang mudah dilalui
olehnya. Kebiasaan tidak pulang masih menjadi rutinitasnya, dengan alasan urusan
organisasi disekolahnya yang memungkinkan harus diselesaikan segera. Menginap di
tempat kost PPL atau tidur di sekolahan. Namun sedikit demi sedikit ia mulai
menepi, menyadarkan diri bahwa semua yang dilakukannya selama itu adalah salah.
Kelas 2 SMA menjadi tonggak setiap perubahan pada dirinya. Tahun dimana ia
disibukkan dengan segala keorganisasian di sekolahnya. Tahun dimana ia mulai
menunjukkan diri bahwa ia patut untuk diperhatikan. Peringkat 7 dari semua
kelas IPS menjadi hal pertama bukti bahwa ia telah berubah menjadi lebih baik. Mulai
dipercaya memimpin sebuah organisasi kepramukaan dan peringkat 4 di kelulusan
SMAnya. Prestasi akademiknya tidak sampai disitu setelah kelulusan SMA ia
sempat mengikuti program pelatihan kerja satu tahun di Jogja.
Kehidupan dijogja jauh dijogja lantas tidak
membuatnya lupa diri, keseharian menjadi
waktu untuk merubah diri menjadi lebih baik. Peringkat 1 sebagai peserta
terbaik jutusan Teknisi komputer. Tahun 2009 ia menamatkan studi tersebut dan 8 bulan pendidikan ia telah berkerja di salah
satu toko komputer dan service. Tak ingin menyiakan waktu ia banyak menyerap
ilmu-ilmu dari siapa saja dan akhirnya tidak begitu lama berkerja ditempat
tersebut ia diterima di perusahan berkembang saat itu dan kini menjabat sebagai
senior technician dan masih menempuh pendidikan di salah satu perguruan tinggi
swasta di Jogja.
Dan akhir kata, Alhamdulillah
ya Allah. Engkau hadirkan kehidupan yang begitu berwarna ini. Entah apa yang
akan terjadi jika ini semua tidak terjadi dalam kehidupanku, mungkin aku akan
sama seperti mereka diluaran sana. Aku tau Engkau begitu mencintaiku, agar aku
benar2 terlindung dari hal yang sia-sia. Membimbingku agar benar2 paham tentang
keluarga yang menyenangkan bagi tiap
anggotanya. Aku berdoa Tuhan segerakan jodohku, biar mereka tau bahwa aku
sanggup membangun keluarga yang bahagia seperti kehendakMU. Aamiin.. smile :)
Posting Komentar