Ini cerita masa lalu, di sautu tempat hiduplah seorang lelaki yang sibuk membangun masa depan yang elok untuk keluarganya kelak. Panggil saja lelaki ini Fulan. Tiada hari tanpa berusaha sepenuh hatinya memperbaiki diri dan berharap dipertemukan dengan pasangan yang baik, wanita yang sejalan dalam sikap dan tiap tutur katanya. Wanita yang melembutkan suaranya dihadapan suaminya, takdim terhadap perintah baik pasangannya dan mau membaik bersama hingga kematian memisahkan.
Cuaca saat itu cerah, tidak
seperti biasa daerah dengan curah hujan tinggi, matahari begitu teriknya. Melangkah
gontai fulan menyusuri tiap sudut perjalanan kehidupanya. Terkadang sejenak ia
menepikan dirinya dari hiruk pikuk fatamorgananya kehidupan era modern saat
itu. Sesekali mengadu, kepada empunya hidup. Mengutaran maksud baiknya agar
dipertemukan dengan seseorang yang paham kondisi dan dapat menjawab tiap problem yang ia temui.
Suatu ketika dalam perjalanya ia dipertemukan
dengan seorang kakek tua. Kakek tua bijaksana yang sangat paham tentang keluh kesah
Fulan. Doanya terkabul, mungkin saja orang ini diutus olehNya untuk mengurai
segala gundah dihatinya.
Masalah apa yang kamu hadapi “nang”,
wajahmu begitu kusut seperti belum disetrika saja? “tanya kakek tua dengan nada
menyindir”. Tersenyum saja fulan mendengar pertanyaan kakek tua tadi.
Sepertinya ada masalah rumit yang ingin engkau perjelas, “katanya kembali”. Dalam
fikirnya masih ragu untuk menanyakan
keluh kesahnya kepadanya. Maksud hati ingin menyelesaikan keruetan yang ada
dibenak, nanti malah hanya buang cerita percuma, “bisik fulan dalam hati. “Ngene
nang wong sing apik kui sejalan karo
omangane ora ceplas ceplos tanpo tedeng aling aling ngomong tanpo dipikir. Pepatah
jowo ngomong jatining diri gumantung ono ing lathi”. (Begini nang orang yang baik itu sejalan dengan apa yang ia ucapkan
tidak ceplas ceplos tanpa batasan berbicara tanpa dipikir. Pepatah jawa mengatakan
isinya diri bisa dilihat dari apa yang ia ucapkan). Fulan terkejut,
ternyata kakek tua itu tau apa yang ada di pikirannya saat itu.
Beberapa hari yang lalu sebelum
pertemuan dengan kakek tua ini banyak orang menjelaskan padanya bahwa kita
tidak bisa menilai seseorang hanya dengan apa yang diucapkannya tapi juga harus
melihat dari perilaku kehidupan untuk dirinya sendiri maupun orang lain. Ia masih
ragu, tidak bisa dipungkiri bahwa itu juga benar adanya. Namun, apa daya yang
berkata seperti itu juga bukan manusia sempurna. Terkadang kita sendiri begitu
terobsesi bahwa apa yang kita yakini adalah benar dan menutup kemungkian lain
untuk pencerahan, menemukan hal yang benar benar benar.
Ngalim, sok agamis, sok mengerti
agama lalu melakukan perbuatan buruk itu wajar nang. Dia bukan alim, agamis dan
mengerti agama mulane dadi koyo mangkono. Uwong sik alim (akeh ilmune), agamis
lan ngerti tentang agomo iki mesti dalanne lurus. Sanajan kepleset iku
manusiawi, wanito kui cobaan paling abot kanggo wong lanang seko jamanne nabi
tekan sak iki. Mulane bentengi awakmu karo se jenenge fitnah wong wadon. (ngalim, sok agamis, sok mengerti agama lalu
melakukan perbuatan buruk itu wajar nang. Dia bukan alim, agamis dan mengerti
agama karena itu jadi seperti itu. Orang yang alim, agamis dan mengerti agama
itu pasti jalannya lurus. Meskipun terpeleset itu manusiawi, wanita itu cobaan
terberat untuk lelaki dari jaman nabi hingga sekarang. Karena itu bentengi
dirimu dari yang namanya fitnah wanita). Wanita cerdas itu yang berperilaku
dan bertutur kata yang baik. Karena itu ia tahu mana yang terbaik untuk dirinya
dan orang lain. Jadi jika perilaku dan tutur katanya jelek, berarti ora cerdas.
Yang lemah mata dan hatinya itu yang tutur kata dan perilakunya jelek. Karena apa?
Dia bisa menilai orang lain, tapi tidak bisa menilai diri sendiri. Pesenku karo
wong sing mengkono iku, perlu tak silihi koco? Dengan takdim fulan mendengarkan
tiap detil apa yang disampaikan kakek tua ini. Seperti dukun saja kakek ini,
belum sempat aku bertanya sudah menjelaskan panjang lebar apa yang ingin aku
tanyakan,” bisik fulan dalam hati.
Tak terasa waktu itu telah
berlalu begitu cepat, burung kembali kesarang. Langit kuning keemasan
menggantung diufuk barat. Suasana indah menutup segala kegudahan yang ia
rasakan saat itu. Semua tanya terjawab sudah. Dengan santun fulan mengucapkan
banyak-banyak terimakasih, menatap detil lekuk garis wajah yang ada di
hadapannya dan berpamit untuk melanjutkan perjalanannya.
Sekian.
NB: Nang adalah kata ganti yang
biasa diucapkan untuk menyebut anak laki-laki dalam bahasa jawa.
Posting Komentar