Manunggaling
Kawulo Lan Gusti dengan pendekatan Fisika Quantum
Sejak
kecil saya sangat tertarik tentang Tuhan … Dimana DIA berada? Seperti apa? Dan
sebagainya … Seiring waktu saya terus mendapatkan jawaban. Jawabannya
bervariasi dan banyak versi. Namun seiring waktu pula jawaban-jawaban tersebut
bukan hanya bervariasi tapi juga berubah … Ternyata bukan hanya itu.
Pertanyaannya semakin banyak dan kadang semakin pusing sendiri … Karena ketika
saya tanyakan kepada orang lain mereka juga tidak tahu malah jadi ikut-ikutan
mumet … Bahkan pernah suatu ketika saya dibilang “kebablasan” … Tidak usah
ngomongin Tuhan! … Nah lo, lha saya ini menyembah Tuhan ya harus tahu tho siapa
yang saya sembah?
Kala
malam ketika saya menatap langit dipenuhi bintang dan sambil membayangkan
betapa luasnya jadag raya ini saya semakin bingung, mengapa saya di sini? Untuk
apa? Nanti kemana? Pamungkasnya ada pertanyaan TUHAN ITU DIMANA? Sebenarnya
kalau dari dogma-dogma ajaran agama sudah terjawab. Tapi saya merasa ada pesan
yang belum terungkapkan dibalik dogma-dogma tersebut. Saya terus menelusurinya
… baik ke luar diri maupun ke dalam diri. Kali ini saya memberanikan diri untuk
menuliskan dan membagikan pemahaman saya tentang Tuhan ke dalam note ini … Dan
saya beri judul MANUNGGALING KAWULO LAN GUSTI atau bila diterjemahkan
KEBERSATUAN MAKHLUK DENGAN TUHAN …
Saya
memahami sekali resiko ketika tulisan ini di buat, lha belum saya tulis aja
beberapa waktu lalu udah ada yang bilang saya sesat … Padahal orang tersebut
belum tahu apa sih sebenarnya yang saya tulis … Don’t judge the book by it’s
cover … Karena saya juga sengaja menuliskan judul tersebut agar lebih menarik …
Dan sekalian menuntaskan janji. Terus terang ada beberapa sms dan pesan di
inbox FB saya yang menanyakan tema yang saya jadikan judul note ini. Saya udah
janji akan saya tulis topik soal ini di FB. Bagi teman-teman yang menyimak note
ini, ikuti keseluruhan tulisannya baru silahkan menyimpulkan …
Dan
mari kita mulai masuk pada pembahasannya …
Ketika
membaca kalimat MANUNGGALING KAWULO LAN GUSTI maka biasanya akan memunculkan
satu nama di dalam pikiran kita yaitu … SYECH SITI JENAR. Syech Siti Jenar atau
Syech Lemah Abang dalam legenda Wali Sanga dikenal sebagai penyebar agama islam
yang kontroversial ajarannya. Syech Siti Jenar dilabeli SESAT! Karena ia
dituduh telah mengaku sebagai ALLAH … Ia dituduh mengaku sebagai TUHAN … namun
apakah benar demikian? Tunggu dulu … Sesungguhnya pemahamannya tidak seperti
itu … Sebenarnya kalau begitu kita-kita pun tanpa sadar telah mengaku sebagai
ALLAH / Tuhan .. Lho?! … Ya! Malah kita ini bisa jadi lebih “sesat”
dibandingkan Syech Siti Jenar yang dilabeli sesat. Mau bukti? Sabar … Saya akan
lanjutkan pembahasannya di bagian 2 ….
Berdasarkan
cerita, sebuah moment yang menjadikan Syech Siti Jenar disebut wali sesat
adalah ketika utusan dari kesultanan demak mengundang Syech Siti Jenar untuk
“diinterogasi” mengenai ajaran-ajarannya yang “nyeleneh” kepada para santrinya.
Namun ketika dipanggil dari luar ruangan ada suara yang menjawab dari tubuh
Syech Siti Jenar yang kalimatnya : “Siti Jenar tidak ada, yang ada Allah” …
Saya dulu pun ketika masih SMP-SMA memiliki mindset bahwa kalimat itu adalah
sebuah pengakuan menyamakan diri dengan Tuhan, padahal bukan itu maksudnya.
Maksudnya adalah manunggal, bukan menyamakan antara Tuhan dengan makhluk. Saya
ulangi, manunggal bukan berarti sama.
Tulisan
ini bukan hanya untuk mereka yang beragama islam. Hanya saja karena saya
beragama islam dan setting cerita Syech Siti Jenar adalah cerita dalam konteks
islam ijinkan saya membahasnya dari sudut pandang islam. Begini saya contohkan
… Ketika shalat, bukankah sangat bagus ketika kita menghayati setiap bacaan
ayat yang kita baca bukan? Nah sekarang bayangkan jika kita membaca surat adz
dzariat ayat 56-58 yang artinya berikut ini : “ Tidak Aku ciptakan jin dan
manusia kecuali beribadah (mengesakan ibadahnya) kepada-Ku, Aku tidak
mengendaki rizki sedikitpun dari mereka dan Aku tidak mengendaki supaya mereka
memberi makan pada-Ku, Sesungguhnya Allah Dialah Yang Maha Pemberi rizki Yang
mempunyai kekuatan Lagi Maha Sangat Kuat”. Pada ayat tersebut bisa kita lihat
dalam terjemahannya ada kata AKU … Nah, bila kita menghayati kalimat ini apa
yang terjadi? Ya sama saja sebenarnya kita “mengaku” sebagai Tuhan. Coba kalau
kita mengatakan AKU kemana asosiasi kata itu? Ya ke diri yang mengatakan tho?
Nah,
sebenarnya dalam hal ini Syech Siti Jenar lebih mulia dari kita karena saat
beliau mengatakan : “Siti Jenar tidak ada, yang ada Allah”, saat mengatakan itu
ego atau ke-aku-an Syech Siti Jenar lenyap. Tahapan beliau sudah sangat tinggi
sehingga sudah bisa melihat esensi sesungguhnya bahwa semua yang ada itu
sebenarnya semu, yang MUTLAK ADA HANYA ALLAH. Yang lain itu SEMU. Justru yang
sesat ya kita ini, menyebut kata AKU yang artinya menunjuk kepada Tuhan tapi
ke-aku-an kita masih ada. So siapa sebenarnya yang mengaku sebagai Tuhan?
Sekarang
mari kita lihat fenomena saat Nabi Muhammad menerima dan menyampaikan wahyu.
Darimana ayat-ayat Al Qur’an keluar? Kan dari lisannya dan jasad fisiknya
Muhammad? Tapi mengapa kita tidak mengatakan Muhammad mengaku sebagai Allah? Ya
karena saat ayat-ayat itu keluar ke-aku-an atau ego Muhammad tidak ada. Yang
berbicara adalah AKU-Nya Allah. So mari kita bandingkan. Saat membaca surat
Adz-dzariat di atas mana yang lebih pantas membacanya. Kita atau Syech Siti
Jenar? Hanya yang benar-benar total meniadakan diri dan ke-aku-annya sajalah
yang benar-benar pantas membaca ayat dalam surat tersebut. Saat kita meniadakan
aku-nya kita maka yang ada adalah AKU-Nya Allah.
Konsep
Manunggaling Kawulo Lan Gusti memang harus dipahami dengan jernih tidak boleh
menyertakan ego dan melepaskan doktrin di kepala kita. Bila tidak maka
pembahasan tentang hal ini hanya semakin mempertebal RASA PALING BENAR SENDIRI
dan yang terjadi adalah perdebatan yang semakin menjauhkan dari esensi. Padahal
dalam Al Qur’an Allah sudah banyak sekali memberikan sinyal. Allah Maha Halus,
Maha Meliputi segala sesuatu, Allah lebih dekat dari urat leher dan masih
banyak lagi. So, konsekuensinya ya MANUNGGAL.
Ketika
membahas tentang Tuhan mohon sudut pandang kita sedikit diperluas, karena sudah
diperluas pun tetap saja belum bisa mewadahi hal yang sebenarnya. Sehingga
sebenarnya pertanyaan TUHAN ADA DIMANA? itu sebenarnya pertanyaan yang kurang
tepat. Karena kata DIMANA berarti dalam ruang dan waktu. Padahal Tuhan itu
bebas dari ruang dan waktu. Bahkan dalam sebuah diskusi dengan pak Fathi Ridwan
Basalamah beliau menyebutkan dalam Hadits Qudsi ada sebuah statement yang
artinya AKU (Allah) adalah SANG WAKTU … Ya wajar saja jika Allah menyebutkan
bahwa diri-Nya lepas dari ruang dan waktu. Ingat, yang tidak bisa dibasahi ya
yang membasahi. Yang tidak bisa terbakar ya yang membakar. Yang tidak lekang
oleh waktu ya waktu itu sendiri.
Beberapa
bulan yang lalu (sudah lama sekali) saya katakan TUHAN ITU TIDAK DIMANAPUN,
TAPI ADA DIMANA-MANA. Kalimat itu sangat kontradiktif bukan? Tapi memang
demikian lah kenyataannya. Karena Tuhan Maha Meliputi segala sesuatu ya
demikian konsekuensinya. Nah tapi waktu itu status saya juga menuai
kontroversi. Ada salah seorang yang protes : “LHO BERARTI TUHAN JUGA ADA DI WC?
ITU KAN TEMPAT KOTOR?” Lho, begini. Kembali, dalam membahas manunggaling
kawulo lan gusti cara pandang kita jangan cara pandang sebagai manusia tunggal.
Jangan dalam sudut pandang dunia 3 dimensi ini. Sekarang saya contohkan begini,
di dalam TAHI dan TAHU itu ada elektron enggak? Jelas ada. Tanpa membahas
struktur molekul yang membedakan, yang namanya elektron dimana-mana ya sama
saja, elektron. Mau di dalam TAHU atau TAHI yo podo wae.
Ketika
sudut pandang kita dari dunia material betul bahwa TAHU itu tidak menjijikkan
dan TAHI itu menjijikkan. Tapi di dunia yang lebih halus tidak demikian adanya.
Nah ingat kemanunggalan Tuhan itu jangan dilihat dari kacamata dunia materi.
Makanya saya katakan TUHAN TIDAK DIMANAPUN, TAPI ADA DIMANA-MANA. Tuhan selalu
terlibat dalam segenap proses hidup, termasuk proses pembusukan di dalam septic
tank. Bahkan Tuhan tidak segan memberi hidayah di kompleks pelacuran. Kadang
ego kita untuk memuliakan Tuhan malah menjauhkan dari esensi kemuliaan itu
sendiri.
Kemanunggalan
itu juga disinyalkan dengan penggunaan kata-kata subyek yang bergonta-ganti di
dalam Al Qur’an ketika Allah menyebut diri-Nya. Kadang menggunakan AKU, kadang
DIA dan kadang KAMI. Nah sebenarnya fenomena di zona quantum semua itu sama
saja alias satu subyek. Di zona quantum kata DI SANA, DI SITU, DI SINI sama
saja. Ya itu-itu juga “barang” nya.
Memang
ada beberapa versi pemahaman tentang penggunakan kata ganti subyek AKU, KAMI
dan DIA dalam Al Qur’an. Ada yang mengatakan kata KAMI adalah sebagai kata
ganti kehormatan sebagaimana digunakan ketika berpidato dalam acara-acara
resmi. Saya pribadi sering mendengar orang berpidato yang menyebut dirinya
sendiri dengan kata kami. Ok, sampai di situ saya bisa menerimanya. Tapi muncul
pertanyaan lagi. Mengapa kalau memang begitu maksudnya kok tidak semuanya saja
menggunakan kata KAMI?
Ada
yang pernah menjawab ketika saya membahas ini dengan kalimat ; “Ya suka-suka
Tuhan ya, mau pake kata AKU kek, DIA kek, KAMI kek itu bukan urusan kita!”. O
my god jadi ngajak debat kusir. Saya bukan sedang mempermasalahkan Tuhan bung.
Saya berupaya untuk mengenal SIAPA YANG SAYA SEMBAH. Setelah menelusuri ke
berbagai sumber dan menyelami diri sendiri, dalam pemahaman saya penggunaan
kata ganti subyek yang berbeda-beda tersebut adalah sinyal tentang konsep
kemanunggalan kawulo lan gusti.
Saya
tidak menyimpulkan bahwa Tuhan “berada” di zona quantum. Namun untuk memudahkan
pemahaman agar kita tidak terkotak dengan kerangka dunia 3 dimensi ini saya
akan membahas fenomena di zona quantum. Di zona quantum pembedaan arah tidak
berarti. Konsep DI SANA, DI SINI dan DI SITU semuanya ya sama saja, demikian
juga konsep INI dan ITU. Semuanya menjadi tidak berlaku. Sama pula dengan
konsep AKU, KAMI dan DIA. Di zona quantum ya semua kata ganti itu akan menunjuk
kepada SUBYEK yang sama. Oleh karenanya saya mengulangi kalimat di bagian sebelumnya
yaitu TIDAK DIMANAPUN TAPI DIMANA-MANA.
Sederhananya
kalo boleh saya ibaratkan jika kita seorang diri berada dalam ruangan penuh
potongan cermin yang disusun seperti ubin baik di lantai dasar, dinding maupun
langit-langitnya, maka semuanya akan nampak “bayangan” diri kita. Ketika kita
menunjuk ke diri sendiri sambil mengatakan AKU, menunjuk ke cermin sambil
mengatakan DIA, sekaligus menunjuk kemana-mana sambil mengatakan KAMI, ya
semuanya adalah kita. Bedanya yang satu asli yang lainnya hanya bayangan. Dengan
demikian Tuhan bebas saja menggunakan kata ganti subyek. Karena dzatnya
MELIPUTI semuanya. Semisal anda menerima gaji dari atasan anda saya bertanya,
darimana rejeki itu? Secara kasat mata itu memang dari atasan anda. Tapi pada
tataran hakikat rejeki yang anda terima itu ya dari Allah, dari Tuhan. Karena
dalam prosesnya Tuhan melibatkan ciptaan-Nya maka BELIAU menggunakan kata ganti
KAMI.
Sampai
tataran ini mungkin tidak akan menimbulkan perdebatan. Nah yang menjadi “mumet”
adalah ketika pertanyaannya bagaimana dengan IBLIS? Atau orang-orang jahat?
Kalau Tuhan meliputi semuanya berarti Tuhan ikut andil donk dalam kejahatan?
Kalau Tuhan manunggal dengan makhluk apakah Tuhan juga manunggal dengan
orang-orang yang korupsi? Masak Tuhan berbuat jahat? Jika semua pertanyaan ini
muncul dalam benak kita maka kita kembali telah terjebak dalam kacamata kita
sebagai manusia. Kita kembali terjebak “melogika-kan” Tuhan dengan frame kita.
Sama saja kita mengatakan elektron pada TAHU itu tidak najis dan elektron dalam
TAHI itu najis. Hemmm, bukankah Tuhan juga tetap memberikan napas pada mereka
yang sedang maksiat di tempat pelacuran? Mohon renungkan ini friends.
Di
bagian ini saya akan membahas tentang zona quantum. Why? Karena di bagian
sebelumnya ada beberapa koment yang masih dalam frame dunia material ketika
memahami konsep manunggal. Akibatnya masih menggunakan penalaran Tuhan berada
di luar atau di dalam diri ya? Jawabannya DI DALAM SEKALIGUS DI LUAR,
mudah-mudahan gak bingung dengan jawaban saya ini. Suka tidak suka ya begitu,
karena Tuhan tidak berarah dan berlokasi. Kalau berlokasi berarti berada dalam
ruang dan waktu. Dan itu bukan sifat Tuhan. Allah itu Maha Halus. Bahkan saking
halusnya tidak bisa dibayangkan oleh pikiran kita sebagai makhluk. Nah di zona halus
itu apapun konsep yang ada dalam pikiran kita tidak berlaku dan tidak bisa
digunakan. Sebagaimana saya uraikan di bagian sebelumnya Tuhan BUKAN berada di
zona quantum. Ini untuk menyederhanakan dunia yang sangat halus. Dunia yang
sangat berbeda dengan dunia yang kita persepsi dengan indera kita ini. Apa sih
zona quantum itu?
Jika
sebuah benda apapun kita pecah-pecah teruuuuus sampai haluuuus maka akan ketemu
yang namanya molekul. Kalo molekul itu dipecah-pecah lagiiii akan ketemu yang
namanya partikel yaitu proton, elektron dan neutron. Kalau dipecah lagiii dan
seterusnya yang kita dapati adalah energy dan seterusnya dan seterusnya. Nah
dalam ilmu fisika, hal-hal yang berada di balik sebuah materi itulah dibahas
dalam fisika quantum yaitu ilmu fisika yang membahas zona halus. Nah di zona
tersebut hampir semua konsep yang kita gunakan di dunia material ini jungkir
balik alias tidak berlaku. Di zona itu semua hal menjadi satu. Arah di sini, di
situ dan di sana tidak berlaku. Di dalam dan di luar juga gak berlaku. Besok,
nanti, tadi, kemarin juga gak berlaku. Dan seterusnya dan seterusnya enggak
berlaku. Sulit dibayangkan kan? Tentu, lha wong kalimat saya ini juga belum
mewakili kenyataan sesungguhnya kok. Nah Allah Maha Halus. Bagaimana mungkin
kita bisa menjangkaunya dengan pikiran kita? Lho berarti gak ada gunanya tho
membahas zona quantum untuk memahami konsep manunggal? Yo jelas ada!
Di
zona quantum semua hal di alam semesta itu MANUNGGAL. Di zona quantum semuanya
SATU! Anda, saya, hewan, angin dan semuanya adalah satu kesatuan alias ONENESS.
Sehingga ditingkatan hakikat ya benar konsep manunggaling kawulo gusti itu. Nah
yang jadi salah adalah ketika kita mengartikan makhluk sama dengan Tuhan,
mengartikan Tuhan ada di dalam diri kita, itu salah kaprah. Semua hal itu ya
dalam liputan dzat-Nya. Lalu apa konsekuensinya? Di tingkatan hakikat
sesungguhnya yang BENAR-BENAR ADA HANYA ALLAH. Apapun yang kita lihat ini
adalah SEMU. Sehingga bila seseorang sudah sampai pada tataran menghilangkan
ke-aku-annya, meniadakan dirinya maka siapa lagi yang ada, YA JELAS ALLAH.
Jawaban
yang sering kita dengar adalah bahwa Tuhan itu di ada di langit, ada di arsy.
Meskipun kalimat itu ada di Al Qur’an dan Al Hadits, tapi kita harus hati-hati
memaknai kata LANGIT dan ARSY. Karena dengan mengatakan TUHAN BERADA DI bla bla
bla maka kita kembali TERJEBAK dalam konsep RUANG WAKTU. Dan itu berarti kita
tanpa sadar menyamakan Tuhan dengan Dunia Material
Apa
sih langit? Secara umum banyak yang menunjuk langit sebagai sesuatu yang berada
di atas kepala kita. Tapi itu sebenarnya juga keliru. Kalau kita menyadari
bahwa bumi itu bentuknya bulat bukankah di bawah kaki kita juga langit? Gak
percaya? Coba kita bor tanah di bawah kaki kita sampai nembus belahan bumi di
bagian sebaliknya, pasti akan melihat awan juga di sana, bahkan bulan dan
bintang jika di belahan bumi sana sedang malam hari. Makanya ada penjelasan
tentang arsy, bahwa singgasana-Nya Allah itu meliputi langit dan bumi alias
semuanya. Celakanya ada juga lho yang memahami singgasana sebagai kursi besar
seorang raja dan Tuhan duduk di atas kursi itu. Parah kan? Saya menulis note
ini agar segala konsep dalam kepala kita harus “dibuang”, atau kalau tidak
digunakan secara hati-hati ketika membahas tentang Tuhan. Segala perumpamaan
yang digunakan Tuhan dalam kitab suci adalah bahasa penyederhanaan saja dan
bukan realitas aslinya.
Apa
yang bisa kita inderai adalah sesuatu yang berada dalam ruang waktu. Segala
sesuatu yang berada dalam ruang waktu pasti tidak abadi dan rusak. Langit itu
sebuah tempat, berlokasi bukan? Tuhan ada di langit? Wah saya kira itu harus
diluruskan jika pemahaman tentang langit adalah sebuah sebuah lokasi yang bisa
diinderai. Saya berikan ilustrasi begini. Jika anda berada di dalam kamar
berarti anda berada dalam sebuah ruangan. Artinya anda lebih kecil dari ruangan
itu. Apakah bisa disebut bahwa anda meliputi ruangan? Ya gak bisa! Padahal
Allah MELIPUTI semuanya, masak berlokasi di sebuah TEMPAT? Lebih pusing lagi
kalo ada yang mengatakan manusia akan ketemu Tuhan di akhirat. Heiii, Tuhan ada
di dalam akhirat atau akhirat itu ada dalam liputan dzat-Nya? Sekali lagi ingat
pembahasan kita di bagian sebelumnya tentang zona quantum. Semua hal baik yang
kita ketahui maupun tidak itu MANUNGGAL dalam lingkupan dzatnya. Termasuk
manusia.
Itulah
sebabnya ada larangan untuk berpikir tentang dzat Allah. Lha wajar saja lha
wong pikiran kita gak bakalan nyampe. Bagaimana mungkin YANG DILIPUTI bisa
mempersepsikan YANG MELIPUTI secara utuh? Orang jawa ketika membahas tentang
realitas Tuhan ini mengatakan : “TAN KENO KINOYO NGOPO”. Artinya, entah, embuh,
gak tau. Susah untuk diungkapkan dengan kalimat apapun. Memisahkan Tuhan dari
makhluk bisa menyesatkan pemahaman. Demikian pula jika menyamakan Tuhan dengan
makhluk, jelas menyesatkan. Dzat Allah itu beda dengan apapun yang kita kenal.
So,
dalam pemahaman saya konsep manunggaling kawulo lan gusti itu yo kebenaran.
Dengan catatan pemahaman konsep manunggalnya harus benar. Bahkan kita mau tau
atau tidak soal manunggaling kawulo lan gusti yo semuanya memang manunggal kok!
Semuanya itu ibarat udara yang sama hanya saja terpisahkan oleh sekat ruangan.
Lalu mengapa dalam cerita Syech Siti Jenar beliau dihukum atau dihakimi
melakukan kesalahan? Dalam penilaian saya adalah karena beliau mengajarkan
sesuatu pengetahuan yang sangat tinggi kepada orang-orang yang belum nyampe
tingkat pemahamannya. Akhirnya “njegleg” (gak kuat). Sebagaimana kita ketahui
apapun yang ada dalam benak kita tidak akan pernah terwakili dengan kata-kata.
Apalagi ketika membahas tentang Tuhan. Jelas akan terjadi distorsi yang sangat
fatal jika disampaikan kepada mereka yang belum siap.
Beberapa
kali saya membuat status di facebook tentang DOUBLE SLIT EXPERIMENT (eksperimen
dua celah) dari Thomas Young. Why? Karena percobaan itu luar biasa! Percobaan
fisika tersebut membuktikan bahwa ada suatu titik dimana si pengamat akan
“menjadi satu” dengan elektron yang diamati. Sehingga konsepnya bukan lagi
pengamat, melainkan partisipan karena si pengamat ikut terlibat. Dalam keadaan
itu perilaku elektron sesuai dengan niat dari pengamatnya. Jadi sebenarnya
sangat jelas sekali tentang kebenaran konsep manunggaling kawulo lan gusti. Ada
suatu titik dimana akhirnya “yang menyembah” MELEBUR dengan “yang disembah”.
Tapi saya ingatkan sekali lagi “yang menyembah” tidak sama dengan “yang
disembah”. Dalam konteks double slit experiment dapat saya katakan sang
pengamat dan elektron tetap dua hal yang berbeda, tapi “menjadi satu” dalam
prosesnya.
Berkenaan
dengan hal di atas, informasi di Al Qur’an tentang TAKDIR akan menjadi
membingungkan ketika kita tidak memahami konsep kemanunggalan antara Tuhan
dengan makhluk. Dalam Al Qur’an disebutkan bahwa Allah “berkehendak atas segala
sesuatu”. Namun di ayat yang lain diinformasikan bahwa “Allah tidak akan merubah
nasib suatu kaum jika kaum itu tidak mengubahnya”. Mana yang benar dari kedua
pernyataan itu? Saya tegaskan jawabannya adalah BENAR DUA-DUANYA SEKALIGUS.
Karena di sini sebenarnya Allah menginformasikan fenomena yang sama persis
dengan DOUBLE SLIT EXPERIMENT itu. Kita adalah obyek sekaligus subyek. Terjadi
proses kreasi partisipatif sebagaimana yang terjadi antara si pengamat dengan
elektron.
Nah
di bagian akhir ini mungkin ada beberapa di antara anda yang kesulitan
memahami. Why? Karena konsep dasar isi dari bagian 7 ini mengambil inti dari
percobaan fisika Thomas Young. Hal ini membuktikan apa? Bukti bahwa konsep
manunggaling kawulo lan gusti itu sangat ilmiah. Sebenarnya konsep manunggaling
kawulo lan gusti adalah ilmu fisika quantum versi jaman dulu (jadul) dengan
bahasa berbeda. Lha saat ini saja ketika kita membicarakan soal fisika quantum
gak semua orang siap bukan? Nah saat itu Syech Siti jenar menjelaskan “fisika
quantum” kepada orang-orang yang belajar fisika klasik pun belum pernah, yo jadinya
salah kaprah. So, saya harap rekan-rekan juga menyaksikan video di
www.youtube.com tentang “double slit experiment” dan “entanglement”. Videonya
kartun dan dijelaskan dengan sederhana oleh seorang tokoh kartun bernama DR.
QUANTUM. O ya ini linknya http://www.youtube.com/watch?v=DfPeprQ7oGc (ini yang
tentang double slit experiment) dan
http://www.youtube.com/watch?v=Jh8uZUzuRhk&feature=related (ini yang
tentang entanglement)
Nah
demikian friends uraian saya tentang konsep manunggaling kawulo lan gusti. Banyak
hal yang tidak saya uraikan di sini. Tapi saya berupaya menuangkan
inti-intinya. Saya tidak mengklaim bahwa tulisan ini adalah sebuah kebenaran
mutlak. Namun saya berharap dari tulisan ini kita tidak lagi menghakimi bahwa
konsep manunggaling kawulo lan gusti itu salah. Kita lah yang telah salah
memahaminya. Sampai jumpa di catatan berikutnya. Tamat.
Wallahu
a’lam
Arif
Rh
Master
Fisika Quantum Indonesia
Posting Komentar